Selasa, 30 September 2014

Arsitektur dan Lingkungan

Proses Perancangan yang 'Irreversible'
 issue tentang lingkungan arsitektur yang gagal

          Bentuk geometri pada masa arsitektur klasik memakai dan hanya mau mengakui bentuk euclidian atau non-euclidian, pemakaian diluar bentuk-bentuk tersebut tidak akan diakui sebagai bentuk geometri. Saat ini, arsitektur telah berkembang pesat, bentuk geometri tidaklah se-kaku masa arsitektur klasik, bentuk-bentuk geometri telah berkembang bebas. Metode perancangan baru memunculkan Bentuk -bentuk yang in-konvensional, sebuah bentuk geometri baru. Terbukti bahwa definisi geometri sejak masa klasik hingga saat ini telah berubah dan mungkin saja kedepannya akan ditemukan bentuk atau definisi geometri baru, semuanya bersifat relatif. Sekalipun demikian, penulis mengakui bahwa geometri itu luas dan bebas. Arsitek yang memiliki pemahaman ruang yang luas dan mampu mengeksploitasi bentuk akan menghasilkan karya arsitektur yang kaya, bebas dan tidak kaku.

          Bentuk geometri ada setelah sang perancang telah melakukan tahapan ”perancangan”. Namun satu hal yang perlu diketahui, kita adalah arsitek – bukan seniman. Proses merancang seorang arsitek tidak sesederhana seorang seniman patung. Tulisan ini tidak akan membahas seberapa luas bentuk geometri (yang sudah saya simpulkan sangat luas dan bebas), namun tulisan ini akan membahas bagaimana proses perancangan arsitektur sehingga membentuk sebuah bentuk geometri.

          Setujunya saya akan pendapat bahwa ‘geometri mengikat perancangan’ terkait dengan perjalanan saya setelah melewati serangkaian proses perancangan arsitektur. Ada sebuah kecenderungan untuk pendekatan perancangan yang mem-bypass sejumlah tahapan pra-perancangan seperti analisis site, konsep fungsi, dan studi tipologi. Seringkali tahapan tersebut hanya ditempatkan di belakang atau sekedar dilampirkan dalam lembar penyajian akhir sebagai formalitas belaka, sebuah proses perancangan yang terbalik. Ironisnya, metode tersebut banyak ’bertengger’ dalam banyak proses perancangan, dan harus saya akui metode tersebut seringkali menghasilkan massa yang sangat kaya secara geometri, namun gagal secara makna bila dikaitkan dengan lingkungan sekitar atau konteks tempat.
         
          D’Arcy Thompson mengemukakan bahwa terbentuknya sebuah bentuk (form) merupakan resultan dari kehadiran banyak force yang berada di dalam atau di sekitarnya. Bentuk akan terus ber-evolve dengan beradaptasi dengan force yang ada (Thompson, 1961: 11). Berntuk geometri yang dihasilkan merupakan terjemahan dari proses evolusi tersebut. Force sendiri diakui oleh D’Arcy sebagai sesuatu yang abstrak dan luas, namun pemakaian kata force merupakan sebuah simbol dari konsep ’sebab’ (Thompson, 1961: 12).Form yang dijelaskan D’Arcy merupakan penggambaran dari proses evolusi bentuk dari bentuk organik mahluk hidup. Kata form dan force akan diangkat sebagai kata kunci dalam penulisan ini.

          Sekarang bagaimana dengan arsitektur?. Apakah bentuk arsitektural juga ikut dipengaruhi dari beragam forceyang ada?. Untuk itu saya mencontohkan konsep mengenai terbentuknya bentuk vernakular [1]. Amos Rapoport dalam buku House Form and Culture menyatakan bahwa terjadinya bentuk-bentuk atau model vernakular disebabkan oleh enam faktor yang dikenal sebagai modifying factor (Rapoport, 1969: 78), diantaranya adalah:

          Faktor Bahan: lingkungan vernacular cenderung menggunakan bahan dari alam atau bahan yang ‘bersahabat’ dengan alam. 
Metode Konstruksi: pemakaian ahli bangunan sangat jarang karena dalam lingkungan vernakular model yang diterapkan dipakai secara bersama oleh masyarakat.
Faktor Teknologi: teknologi dipakai turun-temurun dan menjadi tradisi dalam masyarakat. Faktor Iklim, faktor Pemilihan bahan, konstruksi dan teknologi yang digunakan selalu mengacu kepada lingkungan sekitarnya sehingga bentuk-bentuk vernakular merupakan hasil dari pemecahan terhadap permasalahan Iingkungannya khususnya iklim. 
Pemilihan Lahan: lahan memberikan arti pada bangunan dari segi fisik (kondisi religi).
Faktor sosial-budaya: faktor sosial melingkupi struktur keluarga, hubungan masyarakat dan mata pencaharian sedangkan faktor budaya meliputi pandangan manusia terhadap alam, ide hidup yang ideal, simbol-simbol, kepercayaan dan agama. 

          Amos Rapoport juga mengakui bahwa faktor diatas tidak bersifat statis namun bersifat dinamis sehingga model vernakular akan terus berevolusi seiring dengan berubahnya faktor diatas. Keenam faktor diatas membuktikan bahwa bentuk geometri dari model vernakular merupakan hasil trial & error setelah melalui evaluasi dari beragam force yang ada. Evolusi dari model vernakular terus berkembang menjadi apa yang kita kenal sekarang sebagai arsitektur modern. Diawali dari arsitektur klasik (baroque, ecclictism, art nouveau, victorian dll) dan diakhiri dengan gaya arsitektur post-modern. Keseluruhan gaya arsitektur modern diatas tidak hanya berdiri sendiri namun juga mengalami proses trial and error menghadapi beragamnya faktor atauforce yang ada. Yang membedakan arsitektur modern dengan arsitektur vernakular adalah evolusi atau berkembangnya motivasi pembentuknya – force-nya.


Bila dikaitkan dengan teori segitiga Maslow, kehadiran model vernakular cenderung dimotivasi untuk memenuhi kebutuhan survival atau rasa aman manusia (motivasi terbawah) sedangkan arsitektur modern ada karena motivasi aktualisasi diri (motivasi teratas). Meskipun demikian pendapat tersebut tidak bersifat baku, banyak bangunan vernakular yang dibangun dengan motivasi aktualisasi diri sebaliknya sama dengan bangunan modern (Gossel, 2005). Terlepas dari perbedaan yang ada, pembentukan sebuah karya arsitektur (tradisional, modern) sama dengan pembentukan bentuk organik, keduanya dipengaruhi oleh kehadiran forceyang ada, resultannya adalah sebuah form - bentuk geometri. Sehingga, Proses perancangan yang penulis maksud bermakna perancangan bentuk - form dengan berusaha merespon force yang ada. Pemakaian kata ”irreversible” (tidak dapat dibalik) menjelaskan bahwa tahapan dalam merancang tidak dapat dibalik; form yang dirancang tanpa pertimbangan force akan gagal dengan sendirinya karena tidak dapat membendung kemauan force – gagal beradaptasi.
sumber : https://sites.google.com/site/arkideajakarta1/tips/tips-teori-perancangan/srtsr
Nofal Rian
26313483

Arsitektur dan lingkungan

 issue tentang lingkungan arsitektur yang berhasil.

Isu pemanasan global kini diantisipasi dengan penyediaan produk-produk penunjang properti untuk eksterior maupun interior yang ramah lingkungan. Produsen Saniter American Standard berhasil menggabungkan teknologi efisiensi pemanfaatan air dengan estetika tinggi
Konsep bangunan ramah lingkungan atau green building kini menjadi tren di dunia. Inilah yang terus diaplikasikan pada pengembangan properti saat ini, termasuk di Indonesia.

          Bangunan ramah lingkungan ini mempunyai kontribusi menahan laju pemanasan global dengan membenahi iklim mikro. Dalam pemanasan global, hal yang perlu diperhatikan adalah penghematan air dan energi serta penggunaan energi terbarukan. Arsitektur ramah lingkungan yang juga kerap disebut dengan arsitektur hijau (green architecture) mencakup keselarasan antara manusia dan lingkungan alamnya.

          Arsitektur hijau mengandung juga dimensi lain, seperti waktu, lingkungan alam, sosiokultural, ruang, serta teknik bangunan. Hal ini menunjukkan bahwa arsitektur hijau bersifat kompleks, padat, dan vital dibanding dengan arsitektur pada umumnya. Green architecturemencakup pula persoalan hemat energi, ramah lingkungan, dan dapat dikembangkan menjadi pembangunan berkesinambungan.

          Green architecture merupakan praktik membuat struktur dan menggunakan proses yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan sumber daya yang efisien di seluruh siklus hidup bangunan dari tapak untuk desain, konstruksi, operasi, pemeliharaan, renovasi, termasuk penggunaan material bangunan. Konsultan desain arsitektur Ossiatzki mengatakan, penggunaan material eksterior dan interior serta desain rumah memberikan pengaruh terhadap terciptanya sebuah green architecture.

          ”Desain rancang bangunan yang memperhatikan banyak bukaan untuk memaksimalkan sirkulasi udara dan cahaya alami akan membantu mengurangi penggunaan energi listrik,” ujar Oki, sapaan Ossiatzki kepada KORAN SINDOdi Jakarta, beberapa waktu lalu. Pemilik Ossiatzki Design ini memaparkan, desain bangunan yang baik dan ramah lingkungan adalah bangunan yang memperhatikan lingkungan sekitarnya, seperti membuat taman di lingkungan rumah dan mengurangi jumlah penggunaan kaca pada rumah.

          Untuk desain interior, menggunakan bahan interior yang ramah lingkungan dan mengurangi penggunaan listrik yang sangat berlebihan. President Director PT American Standard Indonesia (LIXIL Group) Iwan Dwi Irwanto beberapa waktu memaparkan, saat ini terdapat banyak produk interior ramah lingkungan.

          LIXIL Corporation misalnya, perusahaan global asal Jepang yang memproduksi dan menyediakan berbagai bahan yang digunakan dalam pembangunan gedung, kelengkapan rumah dan pelayanan-pelayanan yang terkait, memiliki komitmen tinggi terhadap lingkungan yang tercermin melalui inovasi-inovasi produknya. Divisi R&D American Standard telah berhasil menggabungkan teknologi efisiensi pemanfaatan air dengan estetika tinggi.

          Tekan tombol keran yang secara otomatis mengaktifkan sensor penghematan 3/4,5 liter air toilet dan 1 liter urinal. American Standard juga menggunakan material daur ulang yang sesuai dengan misi kepedulian lingkungannya. Salah satu produk ramah lingkungan yang dikembangkan American Standard, yakni kloset hemat air yang diberi nama smart closet. Ada yang memiliki fitur dual flush3 – 4,5 liter dan fitur single flush4,5 liter.

          Dengan fitur dual flush memungkinkan pengguna menekan tombol yang berbeda untuk menyiram toilet. Selain itu, American Standard juga membuat produk fittingatau keran dengan menggunakan click tecnology. Saat pengguna memakainya, keran tidak langsung mengeluarkan air dalam jumlah besar pada bukaan pertama. Itu akan terjadi pada bukaan kedua. “Material yang kami gunakan ramah lingkungan dan sudah mendapatkan sertifikasi ramah lingkungan dari Eropa,” sebutnya.

          Tak hanya saniter, American Standard juga mengembangkan keramik dinding dengan teknologi terbaru. “Keramik dinding tersebut memiliki fungsi mengontrol serta menjaga kelembapan dan bau,” ujar Iwan. Selain itu, keramik American Standard juga memiliki kelebihan mampu menyerap uap.

          Produk lainnya yang didesain agar ramah lingkungan, yakni kusen jendela yang bisa mengontrol dan menyesuaikan temperatur di luar dan di dalam ruangan. Salah satunya kemampuan untuk menyerap panas dari luar ruangan sehingga kesejukan di dalam ruangan tetap terjaga. 
sumber : http://m.koran-sindo.com/node/329401
Nofal Rian
26313483