Proses
Perancangan yang 'Irreversible'
issue tentang lingkungan arsitektur yang gagal
Bentuk
geometri ada setelah sang perancang telah melakukan
tahapan ”perancangan”. Namun satu hal yang perlu diketahui, kita adalah arsitek
– bukan seniman. Proses merancang seorang arsitek tidak sesederhana seorang
seniman patung. Tulisan ini tidak akan membahas seberapa luas bentuk geometri
(yang sudah saya simpulkan sangat luas dan bebas), namun tulisan ini akan
membahas bagaimana proses perancangan arsitektur sehingga membentuk sebuah
bentuk geometri.
Setujunya
saya akan pendapat bahwa ‘geometri mengikat perancangan’ terkait dengan
perjalanan saya setelah melewati serangkaian proses perancangan arsitektur. Ada
sebuah kecenderungan untuk pendekatan perancangan yang mem-bypass sejumlah tahapan pra-perancangan
seperti analisis site, konsep fungsi, dan studi tipologi. Seringkali tahapan
tersebut hanya ditempatkan di belakang atau sekedar dilampirkan dalam lembar
penyajian akhir sebagai formalitas belaka, sebuah proses perancangan yang
terbalik. Ironisnya, metode tersebut banyak ’bertengger’ dalam banyak proses
perancangan, dan harus saya akui metode tersebut seringkali menghasilkan massa
yang sangat kaya secara geometri, namun gagal secara makna bila dikaitkan
dengan lingkungan sekitar atau konteks tempat.
D’Arcy
Thompson mengemukakan bahwa terbentuknya sebuah bentuk (form) merupakan
resultan dari kehadiran banyak force yang berada di dalam atau di
sekitarnya. Bentuk akan terus ber-evolve dengan beradaptasi dengan force yang ada (Thompson, 1961: 11). Berntuk
geometri yang dihasilkan merupakan terjemahan dari proses evolusi tersebut. Force sendiri diakui oleh D’Arcy sebagai
sesuatu yang abstrak dan luas, namun pemakaian kata force merupakan sebuah simbol dari konsep
’sebab’ (Thompson, 1961: 12).Form yang
dijelaskan D’Arcy merupakan penggambaran dari proses evolusi bentuk dari bentuk
organik mahluk hidup. Kata form dan force akan diangkat sebagai kata kunci dalam
penulisan ini.
Sekarang
bagaimana dengan arsitektur?. Apakah bentuk arsitektural juga ikut dipengaruhi
dari beragam forceyang
ada?. Untuk itu saya mencontohkan konsep mengenai terbentuknya bentuk
vernakular [1]. Amos Rapoport dalam buku House
Form and Culture menyatakan
bahwa terjadinya bentuk-bentuk atau model vernakular disebabkan oleh enam
faktor yang dikenal sebagai modifying
factor (Rapoport, 1969: 78),
diantaranya adalah:
Faktor Bahan: lingkungan vernacular cenderung menggunakan bahan dari alam atau bahan yang ‘bersahabat’ dengan alam.
Metode Konstruksi: pemakaian ahli bangunan sangat jarang karena dalam lingkungan vernakular model yang diterapkan dipakai secara bersama oleh masyarakat.
Faktor Teknologi: teknologi dipakai turun-temurun dan menjadi tradisi dalam masyarakat. Faktor Iklim, faktor Pemilihan bahan, konstruksi dan teknologi yang digunakan selalu mengacu kepada lingkungan sekitarnya sehingga bentuk-bentuk vernakular merupakan hasil dari pemecahan terhadap permasalahan Iingkungannya khususnya iklim.
Pemilihan Lahan: lahan memberikan arti pada bangunan dari segi fisik (kondisi religi).
Faktor sosial-budaya: faktor sosial melingkupi struktur keluarga, hubungan masyarakat dan mata pencaharian sedangkan faktor budaya meliputi pandangan manusia terhadap alam, ide hidup yang ideal, simbol-simbol, kepercayaan dan agama.
Faktor Bahan: lingkungan vernacular cenderung menggunakan bahan dari alam atau bahan yang ‘bersahabat’ dengan alam.
Metode Konstruksi: pemakaian ahli bangunan sangat jarang karena dalam lingkungan vernakular model yang diterapkan dipakai secara bersama oleh masyarakat.
Faktor Teknologi: teknologi dipakai turun-temurun dan menjadi tradisi dalam masyarakat. Faktor Iklim, faktor Pemilihan bahan, konstruksi dan teknologi yang digunakan selalu mengacu kepada lingkungan sekitarnya sehingga bentuk-bentuk vernakular merupakan hasil dari pemecahan terhadap permasalahan Iingkungannya khususnya iklim.
Pemilihan Lahan: lahan memberikan arti pada bangunan dari segi fisik (kondisi religi).
Faktor sosial-budaya: faktor sosial melingkupi struktur keluarga, hubungan masyarakat dan mata pencaharian sedangkan faktor budaya meliputi pandangan manusia terhadap alam, ide hidup yang ideal, simbol-simbol, kepercayaan dan agama.
Amos
Rapoport juga mengakui bahwa faktor diatas tidak bersifat statis namun bersifat
dinamis sehingga model vernakular akan terus berevolusi seiring dengan
berubahnya faktor diatas. Keenam faktor diatas membuktikan bahwa bentuk
geometri dari model vernakular merupakan hasil trial & error setelah
melalui evaluasi dari beragam force yang ada. Evolusi dari model
vernakular terus berkembang menjadi apa yang kita kenal sekarang sebagai
arsitektur modern. Diawali dari arsitektur klasik (baroque, ecclictism, art
nouveau, victorian dll) dan
diakhiri dengan gaya arsitektur post-modern. Keseluruhan gaya arsitektur modern
diatas tidak hanya berdiri sendiri namun juga mengalami proses trial and error
menghadapi beragamnya faktor atauforce yang
ada. Yang membedakan arsitektur modern dengan arsitektur vernakular adalah
evolusi atau berkembangnya motivasi pembentuknya – force-nya.
Bila dikaitkan dengan teori segitiga Maslow, kehadiran model
vernakular cenderung dimotivasi untuk memenuhi kebutuhan survival atau rasa
aman manusia (motivasi terbawah) sedangkan arsitektur modern ada karena
motivasi aktualisasi diri (motivasi teratas). Meskipun demikian pendapat
tersebut tidak bersifat baku, banyak bangunan vernakular yang dibangun dengan
motivasi aktualisasi diri sebaliknya sama dengan bangunan modern (Gossel,
2005). Terlepas dari perbedaan yang ada, pembentukan sebuah karya arsitektur
(tradisional, modern) sama dengan pembentukan bentuk organik, keduanya
dipengaruhi oleh kehadiran forceyang
ada, resultannya adalah sebuah form - bentuk geometri. Sehingga, Proses
perancangan yang penulis maksud bermakna perancangan bentuk - form dengan
berusaha merespon force yang ada. Pemakaian kata ”irreversible” (tidak
dapat dibalik) menjelaskan bahwa tahapan dalam merancang tidak dapat dibalik;
form yang dirancang tanpa pertimbangan force akan gagal dengan sendirinya karena
tidak dapat membendung kemauan force – gagal beradaptasi.
sumber : https://sites.google.com/site/arkideajakarta1/tips/tips-teori-perancangan/srtsr
Nofal Rian
26313483